Membaca menduduki posisi serta peran yang sangat penting dalam
konteks kehidupan umat manusia, terlebih pada era informasi dan
komunikasi seperti sekarang ini. Membaca juga merupakan sebuah jembatan bagi siapa saja dan di mana saja yang berkeinginan meraih kemajuan dan kesuksesan, baik di lingkungan dunia persekolahan maupun di dunia pekerjaan. Oleh karena itu, para pakar sepakat bahwa kemahiran membaca (reading literacy) merupakan conditio sine quanon (prasyarat mutlak) bagi setiap insan yang ingin memperoleh kemajuan.
Anggota masyarakat literat atau masyarakat yang tidak mampu membaca
bukan hanya akan senantiasa terpencil tetapi akan selalu dipencilkan, karena mereka tidak terjangkau oleh informasi yang seharusnya mereka ketahui dan butuhkan dalam kehidupan sehari-hari di alam modern ini. Misalnya, untuk memahami berita dan iklan dalam surat kabar, membaca petunjuk yang ada dalam berbagai pembungkus obat, mengisi blangko yang harus diisi oleh wajib pajak, surat perjanjian, petunjuk dalam buku tabungan dan sejenisnya, tentulah sukar dibayangkan akan dapat dilakukan oleh mereka yang kemampuan membacanya pas-pasan. Terlebih lagi bagi mereka yang sama sekali tidak dapat membaca.
Di sisi lain, membaca bukanlah proses tunggal sebagaimana yang selama
ini banyak dipahami oleh masyarakat awam. Membaca merupakan sintesis
dari berbagai proses yang kemudian berakumulasi pada suatu perbuatan
tunggal, yakni membaca. Hal ini berarti bahwa kita harus memandang
membaca sebagai suatu pengalaman yang aktif, yakni suatu kegiatan yang
dilakukan secara sadar, bertujuan, pemahaman, dan pemaknaannya akan
ditentukan oleh sejumlah pengalaman si pembaca.
Membaca memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
umat manusia, baik dalam konteks individual maupun komunal, tampaknya sudah kita pahami bersama. Hingga saat ini, tak ada seorang pun kaum cerdik-cendikia di seantero jagat ini yang meragukannya, apalagi menyangkalnya. Meskipun demikian, untuk memberikan wawasan serta perspektif yang lebih luas kepada Anda mari kita baca uraian berikut ini.
Dalam sebuah kesempatan Prof. Leo fay (1980) mantan presiden IRA
(International Reading Asociation) pernah meyakinkan para koleganya
dengan sebuah kalimat yang berbunyi, To read is to possess a power for
transcending whatever physical human can muster. Kemudian Hartoonian,
salah seorang politikus AS, saat dia diwawancarai oleh seorang wartawan,
apa yang harus dilakukan bangsa Amerika untuk mempertahankan
supremasinya sebagai negara adidaya yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di kolong langit ini, dirinya menjawab, If me want to be a super power we must have individuals with much higher levels of literacy (jika kita
menginginkan menjadi bangsa adidaya kita harus memiliki lebih banyak lagi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal literasi atau baca-tulis).
Berlebihankah ucapan Leo Fay dan Hartoonian tersebut? Sebagian orang
setuju akan menganggapnya demikian. Mungkin mereka akan bertanya apa hubungan membaca dengan kedigdayaan suatu bangsa atau kualitas seorang manusia? Namun, jika kita kaji masalah tersebut secara mendalam, sesungguhnya ucapan keduanya sangatlah realistis. Mengapa? Sebab bagi masyarakat yang hidup dalam babakan pasca industri, atau yang lazim disebut era sumber daya manusia, atau era sibermatika, seperti sekarang ini, kemahiran membaca dan menulis atau yang lazim disebut literacy memang telah dirasakan sebagai conditio sine quanon alias prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.